Oleh : Tuaq Senun
Penggemar Tuaq Manis
(Analis Publik, KaliJangkok Institute)
(Analis Publik, KaliJangkok Institute)
Badan Pusat Statistik (BPS) telah bicara: ekonomi NTB anjlok dua kali—minus 1,47 persen (YoY) dan minus 2,32 persen (QoQ) pada triwulan I 2025. Jika ini berlanjut di kuartal berikutnya, NTB tak sekadar lesu, tapi resmi masuk ke resesi teknikal. Sementara daerah lain sudah lari maraton pemulihan pasca-transisi nasional, NTB masih sibuk mencari sepatu lari di pasar Cakra.
Apakah ini sinyal bahwa pasar tak percaya pada kepemimpinan Gubernur Iqbal? Atau jangan-jangan pasar bingung, arah pemerintah provinsi ini sebenarnya ke mana? Pasar biasanya alergi pada ketidakpastian, dan di NTB, ketidakpastian malah jadi menu harian.
Sektor pertanian yang selama ini jadi salah satu andalan pun ikut tumbang. Gubernur sempat bersemangat menyampaikan ke Presiden bahwa produksi padi NTB mencapai 12 ton per hektar. Dan ia katakan lagi “saya khawatir bulan depan, pesawat-pesawat akan penuh dengan para petani yang berangkat umroh” apa dia lupa bulan mei dan Juni tidak ada pemberangkatan Umroh, tapi pemberangkatan haji…. Publik pun sempat tertawa dan tepuk tangan, sebelum akhirnya sadar: itu angka dongeng. Kepala BI NTB dengan kalem menjelaskan: produksi riilnya masih di angka 6 ton per hektar. Setengahnya. Jadi yang ditanam 12, dipanen 6, sisanya hilang ke mana? Jangan-jangan ikut rapat evaluasi tapi tidak pernah dilaksanakan.
Setali tiga uang dengan hancurnya harga dan daya serap jagung rendah, kembali Gubernur Iqbal tak mampu melakukan apa-apa, Pun dengan antrenya angkutan sapi, sampai-sampai banyak sapi mati di pelabuhan, bahkan juga terdapat sapi mati di atas kapal karena kelamaan antre menunggu kapal, bahkan telp dengan Gubernur Bali pun tak menghasilkan sesuatu yang signifikan
Puncak ironi datang dari realisasi anggaran. Ketika ekonomi lesu, justru dana pemerintah NTB malah rebahan. Kanwil DJPb mencatat ada Rp5,63 triliun yang belum disalurkan. Dana itu seperti uang saku anak kos: banyak, tapi diam di dompet, tidak dipakai, tidak menolong siapa-siapa.
Padahal, dalam ilmu ekonomi paling dasar pun, pengeluaran pemerintah punya efek multiplier yang besar. Tapi tampaknya, APBD NTB bukan lagi alat pembangunan, melainkan koleksi museum. Realisasi nyaris pingsan, proyek mandek, dan rakyat disuguhi karnaval kekecewaan yang makin panjang. Karnaval ini bukan tontonan tahunan, tapi harian—dan tiketnya gratis, sayangnya penontonnya selalu rugi.
Alih-alih evaluasi, para pembisik Gubernur justru lihai main sulap: menyulap masa lalu jadi kambing hitam. Politik, pilkada, transisi, semua diseret. Padahal, kontraksi ekonomi ini terjadi di tangan mereka, bukan di tangan masa lalu. Betul, triwulan IV 2024 memang minus 0,5%, tapi itu masih wajar: semua sedang transisi, dan pasar sedang wait and see. Namun begitu Presiden baru dilantik dan nasional bangkit, NTB malah tersesat di lorong gelap yang berjudul “Makmur Mendunia”
Lucunya lagi, masyarakat yang kecewa malah dituduh pesimis. Rakyat bukan pesimis soal ekonomi, tapi pesimis karena melihat Gubernur dan para pembisiknya justru seperti gangsing : muter-muter tapi tidak pernah sampai tujuan.
Kalau Gubernur Iqbal butuh referensi, cobalah tengok Bupati Lombok Barat dan Lombok Timur. Baru dilantik, langsung tancap gas. Ada gebrakan, ada arah. Rakyatnya jadi optimis. Bukan karena janji, tapi karena kerja.
Menjelang 100 hari Gubernur Iqbal, harusnya segera evaluasi, jangan sampai kesengkarutan pemerintahan ini menjadi juara bertahan. Ibarat sebuah mesin motor, 100 hari adalah masa “inreyen” yang tidak boleh salah penanganan, karena seribu tujuh ratus hari kedepan yang akan di pertaruhkan *(To Be Continued)*
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.