Oleh: Suaeb Qury
(Komisioner Komisi Informasi Prov NTB)
(Komisioner Komisi Informasi Prov NTB)
Indonesia menatap masa depan dengan penuh harap melalui visi Generasi Emas 2045 generasi yang diharapkan unggul dalam ilmu, karakter, dan daya saing global. Namun, realita pendidikan hari ini justru menghadirkan ironi. Di balik slogan-slogan manis tentang pendidikan gratis, SPMB terjangkau, atau sekolah ramah lingkungan, banyak keluarga Indonesia masih harus jungkir balik demi sekadar menyekolahkan anak-anak mereka.
Pertanyaannya: benarkah biaya pendidikan saat ini nihil? Apakah SPMB benar-benar bisa diakses semua kalangan? Seberapa ramah lingkungan sekolah-sekolah kita? Dan yang paling menyakitkan: bisakah anak dari keluarga miskin bersekolah di sekolah favorit?
Secara resmi, pemerintah mencanangkan kebijakan sekolah gratis bagi jenjang dasar dan menengah. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) digelontorkan untuk menjamin bahwa siswa tak perlu membayar SPP. Namun dalam praktiknya, biaya pendidikan tetap ada dalam bentuk yang lebih “halus”.
Biaya seragam, buku paket, uang bangunan, iuran komite, hingga “uang sukarela” menjadi beban yang nyata bagi orang tua siswa. Bahkan ada sekolah negeri yang diam-diam mewajibkan iuran bulanan atau membebankan biaya ekstrakurikuler yang tidak murah. Istilah "gratis" kerap menjadi kosmetik untuk menutupi realita bahwa pendidikan masih mahal, apalagi jika kita bicara soal kualitas.
Sejatinya jalur dan proses SPMB yang sudah disediakan sebagaiamana yang ada seperti berikut ini;
Ada empat jalur pendaftaran siswa baru dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025, yaitu :
- Jalur Domisili: Memprioritaskan calon siswa berdasarkan tempat tinggal mereka, sehingga siswa dapat bersekolah di lingkungan terdekat dari rumah.
- Jalur Prestasi: Mengutamakan prestasi akademik dan non-akademik calon siswa, termasuk prestasi kepemimpinan seperti pengurus OSIS atau organisasi lainnya.
- Jalur Afirmasi: Memberikan kesempatan lebih besar bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu dan penyandang disabilitas untuk memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas.
- Jalur Mutasi: Diperuntukkan bagi anak-anak yang mengikuti orang tua yang dipindah tugas, serta bagi guru yang mengajar di sekolah tertentu, sehingga mobilitas pekerjaan orang tua tidak menghambat pendidikan anak.
Perlu diingat bahwa sistem PPDB 2025 telah diperbarui dan kini lebih transparan dan inklusif, dengan penyesuaian persentase masing-masing jalur penerimaan untuk jenjang SMP dan SMA.
Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) menawarkan beberapa jalur seperti SNBP (berbasis prestasi), SNBT (berbasis tes), dan jalur mandiri. Tapi benarkah ini membuka akses yang adil?
Alhasil, banyak anak cerdas dari keluarga tidak mampu yang tersingkir hanya karena tak mampu membayar, bukan karena tak layak belajar.
Saat ini, banyak sekolah berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai sekolah ramah lingkungan. Ada gerakan menanam pohon, memilah sampah, atau menggunakan botol minum isi ulang. Namun, apakah itu cukup?
Faktanya, di banyak sekolah, program ini hanya berlangsung seremonial. Kegiatan lingkungan dilakukan setahun sekali, foto-fotonya dipasang di media sosial atau saat visitasi akreditasi, lalu hilang begitu saja. Sekolah belum menjadikan kesadaran lingkungan sebagai bagian dari kurikulum hidup yang konsisten.
Sekolah favorit, terutama di kota-kota besar, masih menjadi simbol kualitas dan prestise. Namun, bisa kah anak dari keluarga miskin masuk ke sana?
Sistem zonasi yang awalnya diharapkan membuka keadilan akses justru kadang menciptakan masalah baru. Banyak orang tua yang memindahkan domisili secara fiktif demi bisa masuk ke zona sekolah favorit. Sementara itu, anak-anak dari keluarga tak mampu, meskipun tinggal di zona itu, tetap kesulitan beradaptasi karena masalah biaya tambahan, budaya sekolah, hingga tekanan sosial.
Masuk sekolah favorit bukan akhir dari perjuangan. Mereka harus berkompetisi dengan siswa dari kalangan mapan yang punya akses bimbingan belajar, gawai canggih, dan lingkungan belajar yang nyaman. Maka, walaupun secara administratif bisa masuk, kesenjangan tetap membentang luas.
Membangun generasi emas tak cukup dengan jargon dan program tempelan. Kita butuh reformasi pendidikan yang berpihak kepada rakyat. Pendidikan harus benar-benar gratis, bukan sekadar bebas SPP. SPMB harus dirombak agar transparan dan tidak mengorbankan siswa miskin. Sekolah harus benar-benar ramah lingkungan, bukan sekadar pencitraan. Dan yang paling penting, anak-anak dari keluarga tidak mampu harus bisa bersekolah di mana pun, tanpa merasa terasing atau tertekan.
Generasi emas bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi. Jika pendidikan masih jadi mimpi bagi mereka yang miskin, maka visi 2045 hanya akan jadi mitos yang indah namun kosong.
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.