Oleh:
Dr. Firzhal Arzhi Jiwantara, S.H., M.H.
Praktisi Dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Mataram
Majelis Hukum Dan HAM Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB 2022-2027
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Lombok Barat baru-baru ini mengeluarkan imbauan kepada masyarakat, khususnya korban dugaan peredaran kosmetik bermerkuri “WBS Cosmetics”, agar segera melapor dan tidak diam. Langkah ini memang layak diapresiasi sebagai wujud kesadaran lembaga terhadap potensi bahaya yang mengancam konsumen. Namun, di tengah urgensi ancaman kesehatan akibat merkuri, publik berhak bertanya: apakah imbauan saja sudah cukup? Atau justru BPSK perlu mengambil langkah yuridis yang konkret, cepat, dan terukur?
Dalam perspektif hukum administrasi negara, BPSK merupakan quasi-judicial body yang dibentuk berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Mandat BPSK tidak hanya sebatas memberikan penyuluhan, tetapi meliputi penerimaan pengaduan, pemeriksaan bukti, pemanggilan pelaku usaha, hingga pengambilan putusan yang bersifat final dan mengikat. Kewenangan tersebut sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sebagaimana termuat dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan perlindungan terhadap hak asasi warga negara. Dengan demikian, dalam kasus kosmetik bermerkuri yang secara tegas dilarang oleh Peraturan BPOM Nomor 18 Tahun 2021, BPSK seharusnya tidak berhenti pada persuasive approach berupa imbauan, tetapi wajib masuk pada enforcement approach melalui tindakan administratif yang dapat menimbulkan efek jera.
Bahwa Kelemahan terbesar dari sebatas imbauan publik adalah potensi timbulnya law enforcement gap kesenjangan antara aturan hukum yang ada dan pelaksanaannya di lapangan. BPSK, sebagai organ negara di daerah, memiliki kewajiban hukum untuk menutup celah ini. Berdasarkan prinsip best effort obligation, setiap lembaga publik wajib menggunakan seluruh instrumen kewenangannya demi mencapai tujuan regulasi. Dalam konteks ini, BPSK Lombok Barat perlu memastikan bahwa korban tidak hanya diarahkan untuk melapor, tetapi laporan tersebut diproses melalui mekanisme pemeriksaan, mediasi, atau bahkan putusan yang memerintahkan ganti rugi, penarikan produk, atau kompensasi.
Bahwa perlu diingat, meskipun BPSK bukan lembaga penegak hukum pidana, ia memiliki peran sentral dalam membangun jalur koordinasi dengan BPOM, kepolisian, dan dinas kesehatan. UUPK memberikan dasar bagi BPSK untuk mengeluarkan rekomendasi kepada instansi terkait guna penindakan lebih lanjut, termasuk penghentian peredaran produk yang membahayakan kesehatan. Tanpa koordinasi lintas lembaga, perlindungan konsumen akan terfragmentasi dan tidak efektif.
Dari perspektif konstitusional, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak ini tidak boleh dikompromikan dengan dalih keterbatasan prosedur atau birokrasi. Ancaman merkuri dalam kosmetik adalah ancaman serius terhadap kesehatan publik, sehingga respons BPSK harus cepat, pasti, dan berpihak pada korban.
Jika BPSK Lombok Barat maupun BPSK yang lain di NTB gagal memaksimalkan kewenangannya, risiko yang muncul bukan hanya hilangnya kepercayaan publik, tetapi juga potensi terjadinya maladministrasi karena kelalaian dalam melaksanakan kewajiban hukum. Ombudsman Republik Indonesia bahkan berpotensi turun tangan jika terbukti ada pembiaran. Oleh karena itu, lembaga ini harus menunjukkan bahwa keberadaannya bukan sekadar simbol administratif, melainkan garda terdepan perlindungan konsumen di daerah.
Kini, yang dibutuhkan bukan lagi kata-kata manis atau slogan “laporkan, hak Anda dilindungi Undang-Undang”. Yang dibutuhkan adalah bukti nyata: laporan yang diterima harus diproses, putusan harus diambil, koordinasi harus dijalankan, dan korban harus memperoleh pemulihan hak. Dalam kasus kosmetik bermerkuri, waktu adalah faktor penentu setiap hari keterlambatan berarti memperbesar potensi kerugian kesehatan bagi masyarakat.
Dengan demikian BPSK Lombok Barat maupun BPSK yang lainya di NTB memiliki panggung hukum dan kewenangan penuh untuk bertindak. Publik kini menunggu, bukan untuk mendengar imbauan berikutnya, tetapi untuk menyaksikan langkah nyata yang memberi rasa aman, kepastian hukum, dan perlindungan yang dijanjikan Undang-Undang.
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.