Oleh: Hasanuddin — Jurnalis Televisi di Mataram
Patut diduga, proses seleksi calon komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aroma “permainan” mulai tercium sejak beberapa figur dengan kapasitas mumpuni justru gagal lolos, sementara sejumlah nama yang dianggap kurang kompeten justru melenggang mulus ke tahap berikutnya. Publik pun bertanya-tanya: adakah kepentingan politik yang ikut bermain di balik layar?
Aroma “Main Mata” di Balik Seleksi
Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Beberapa nama yang memiliki rekam jejak kuat di bidang jurnalistik dan teknologi informasi justru tersingkir pada tahap penjaringan. Padahal, mereka memiliki pengalaman dan wawasan yang dibutuhkan untuk memperkuat lembaga yang berperan menjaga keterbukaan informasi publik itu.
Sebaliknya, muncul nama-nama yang belum tentu paham teknologi maupun dinamika digital, namun berhasil lolos. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar: apa indikator objektif yang digunakan panitia seleksi? Atau jangan-jangan, proses ini dikendalikan oleh pertimbangan “kedekatan” dan bukan “kapasitas”?
Sebagai orang yang berlatar belakang jurnalis, saya tentu curiga. Kenapa orang yang punya potensi justru tersingkir, sementara yang belum tentu kompeten malah diloloskan.
Lebih jauh, beredar kabar bahwa salah satu dari 15 nama yang lolos disebut-sebut sebagai kader partai politik, sementara lainnya diduga memiliki kedekatan dengan pejabat daerah. Jika benar, maka publik patut khawatir: lembaga yang seharusnya independen bisa berubah menjadi alat kepentingan kekuasaan.
Lembaga Strategis, Bukan Ajang Balas Budi
Komisi Informasi bukan lembaga biasa. Ia memiliki posisi strategis dalam memastikan keterbukaan dan keseimbangan informasi publik, serta menjadi pengawas moral bagi transparansi pemerintahan. Karena itu, jabatan komisioner seharusnya diberikan kepada figur yang benar-benar berkompeten, berintegritas, dan paham ekosistem informasi, bukan kepada mereka yang sekadar memiliki kedekatan politik atau hubungan personal.
Selama ini, kinerja KI NTB dinilai kurang menggigit. Tidak ada langkah tegas terhadap pelanggaran keterbukaan informasi atau media yang abai terhadap regulasi. Lembaga ini seolah kehilangan taring. Padahal, publik membutuhkan keberanian dan ketegasan, bukan sekadar seremonial atau formalitas kelembagaan.
“Kalau seleksi ini hanya jadi ajang titip-menitip jabatan, lalu apa jadinya KI NTB nanti? Apakah masih bisa dipercaya publik?” pertanyaan itu semestinya menggugah kesadaran para pengambil keputusan.
Jangan Rusak Kepercayaan Publik
Pemerintahan Iqbal–Dinda sejauh ini dikenal memiliki citra positif di mata masyarakat NTB, terutama dalam upaya menjaga keterbukaan dan transparansi pembangunan. Namun, jika proses seleksi KI NTB ini benar diwarnai “main mata” atau “balas budi” politik, maka citra itu terancam tercoreng.
Kepercayaan publik adalah aset mahal. Satu kesalahan kecil dalam seleksi lembaga strategis bisa merusak kepercayaan besar yang telah dibangun bertahun-tahun. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa proses seleksi berjalan jujur, profesional, dan bebas intervensi politik.
Jangan sampai lembaga yang seharusnya menjadi benteng transparansi malah berubah menjadi panggung kepentingan. Masyarakat NTB berhak mendapatkan Komisi Informasi yang kuat, independen, dan berani. Karena hanya dengan itu, keterbukaan informasi benar-benar bisa menjadi kenyataan, bukan sekadar jargon di atas kertas.


Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.