Penulis: Ipa Bahya
Dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pengampu mata kuliah Feminisme, Pengantar Ilmu Sastra, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Sastra Populer, Sejarah Sastra Indonesia, Bahasa Indonesia.
Dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pengampu mata kuliah Feminisme, Pengantar Ilmu Sastra, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Sastra Populer, Sejarah Sastra Indonesia, Bahasa Indonesia.
Laut adalah jantung kehidupan masyarakat Bima. Ia bukan sekadar hamparan air asin, tetapi ruang hidup, sumber pangan, dan identitas budaya. Namun hari ini, laut itu tak lagi ramah. Ia terluka oleh keserakahan, dibungkam oleh kebijakan yang timpang, dan diabaikan oleh negara yang sibuk menjual ilusi pembangunan biru.
Ironi terbesar dari krisis laut Bima adalah bahwa kehancuran ini berlangsung dengan persetujuan diam-diam semua pihak, dari pengambil kebijakan hingga masyarakat itu sendiri—baik karena ketidaktahuan, keterpaksaan, atau sekadar merasa tidak berdaya.
Ekosistem Laut yang Sekarat
Kondisi ekologis laut Bima hari ini berada dalam fase krisis. Lebih dari separuh wilayah terumbu karang di perairan ini dikategorikan rusak, sebagian besar karena praktik destruktif seperti penangkapan ikan menggunakan bom dan racun potasium. Praktik ini tak hanya membunuh ikan target, tetapi juga menghancurkan ekosistem pendukung kehidupan laut lainnya.
Padang lamun, rumah bagi biota laut penting seperti dugong dan penyu, juga kian tergerus oleh sedimentasi, aktivitas tambang, dan pencemaran dari darat. Sungai-sungai yang bermuara ke laut membawa limbah rumah tangga, sampah plastik, bahkan limbah pertanian dan industri tanpa proses filtrasi memadai.
Di sisi lain, penangkapan berlebih (overfishing) yang dilakukan oleh kapal-kapal besar dari luar daerah—bahkan dari luar negeri—menggambarkan jelas bagaimana sumber daya lokal dieksploitasi secara sistematis, sementara masyarakat pesisir Bima hanya mendapat sisa remah yang makin sedikit dari tahun ke tahun.
Ketimpangan yang Mengakar
Krisis laut Bima bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial. Nelayan tradisional dan masyarakat pesisir adalah korban utama. Mereka hidup di garis kemiskinan, tergantung pada laut yang makin tak bersahabat. Ironisnya, ketika mereka berupaya bertahan hidup dengan peralatan sederhana, mereka justru sering menjadi sasaran penertiban dan kriminalisasi oleh aparat.
Sementara itu, aktor-aktor besar dengan modal dan koneksi politik terus diberi ruang luas untuk “mengelola” laut. Skema izin penangkapan skala besar, proyek reklamasi, hingga rencana industri perikanan berbasis ekspor kerap dipaksakan masuk tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat lokal.
Narasi “ekonomi biru” (blue economy) yang sering digaungkan pemerintah sebenarnya penuh lubang. Apa yang disebut sebagai “pembangunan kelautan berkelanjutan” pada praktiknya sering kali berarti pembukaan akses bagi investor besar untuk menambang sumber daya laut, bukan pemulihan ekosistem atau penguatan kapasitas nelayan lokal.
Negara yang Absen, Masyarakat yang Ditinggalkan
Apa yang dilakukan negara untuk menghentikan laju kerusakan ini? Sangat sedikit. Kebijakan konservasi laut dan pengawasan perikanan seringkali hanya formalitas—tertera di atas kertas, namun tak menyentuh akar persoalan di lapangan. Pengawasan minim, hukum tak ditegakkan, dan anggaran dialihkan ke proyek-proyek pencitraan.
Alih-alih melindungi masyarakat pesisir, negara justru membiarkan mereka bersaing dalam sistem yang tidak adil. Pendidikan maritim terbatas, akses terhadap teknologi ramah lingkungan tidak merata, dan infrastruktur pendukung sektor kelautan dibiarkan terbengkalai. Negara hadir, tapi tidak berpihak.
Mencari Jalan Keluar: Dari Regenerasi Ekosistem hingga Demokratisasi Akses
Harus ada keberanian politik untuk mengubah arah. Penyelamatan laut Bima tidak bisa dilakukan dengan tambal sulam atau pendekatan teknokratis semata. Ini membutuhkan transformasi paradigma: dari eksploitasi menjadi regenerasi, dari sentralisasi menjadi partisipasi, dari korporatisasi menjadi demokratisasi.
Langkah awalnya bisa dimulai dari:
1. Moratorium terhadap aktivitas penangkapan skala besar di zona pesisir hingga ekosistem pulih.
2. Pemulihan terumbu karang dan padang lamun secara partisipatif, melibatkan masyarakat lokal, akademisi, dan lembaga adat.
3. Redistribusi izin dan akses laut yang lebih adil untuk kelompok nelayan kecil dan perempuan pesisir.
4. Pendidikan ekologi maritim di sekolah-sekolah sebagai upaya jangka panjang menumbuhkan kesadaran generasi muda.
5. Penguatan kelembagaan masyarakat pesisir, termasuk koperasi nelayan, unit pengawasan berbasis warga, dan forum kebijakan desa pesisir.
Laut Bima tak bisa diselamatkan oleh proyek-proyek besar, tetapi oleh komitmen kolektif yang dimulai dari bawah. Dari nelayan yang memilih tidak membom ikan, dari desa yang menolak proyek tambang pasir laut, dari pemuda yang mengangkat kembali kearifan bahari leluhur mereka.
Menolak Tenggelam
Jika laut Bima tenggelam dalam krisis, maka masyarakat Bima ikut tenggelam bersamanya. Maka sekarang adalah waktunya untuk memilih: tetap menutup mata dan berjalan menuju kehancuran, atau berdiri, bersuara, dan mulai merawat kembali laut yang telah memberi kehidupan selama berabad-abad.
Laut Bima bukan milik investor, bukan milik negara, bukan pula milik satu generasi. Ia adalah warisan bersama—dan tanggung jawab kita semua untuk menjaganya.
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.