Penulis: Ipa Bahya
Dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pengampu mata kuliah Feminisme, Pengantar Ilmu Sastra, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Sastra Populer, Sejarah Sastra Indonesia, Bahasa Indonesia.
Dosen Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pengampu mata kuliah Feminisme, Pengantar Ilmu Sastra, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, Sastra Populer, Sejarah Sastra Indonesia, Bahasa Indonesia.
Pegunungan di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat, kini tidak lagi didominasi oleh hijaunya hutan tropis seperti beberapa dekade lalu. Lereng-lereng yang dulunya menjadi penyangga sistem hidrologi dan rumah bagi keanekaragaman hayati kini telah berubah menjadi ladang jagung dalam skala besar. Perubahan ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan akibat akumulasi dari berbagai faktor: tekanan ekonomi yang tinggi, perubahan pola musim akibat krisis iklim, dan dorongan kebijakan pertanian nasional yang menargetkan jagung sebagai komoditas unggulan. Bagi banyak petani, menanam jagung adalah solusi cepat untuk kebutuhan dapur mereka. Tanaman ini lebih tahan terhadap musim kering, cepat panen, dan memiliki pasar yang jelas. Namun di balik itu, terbentang risiko ekologis yang besar dan cenderung diabaikan oleh berbagai pihak.
Fenomena alih fungsi lahan dari hutan dan semak belukar ke ladang jagung terjadi nyaris tanpa kontrol yang memadai. Menurut data dari Walhi NTB, lebih dari 70% kawasan hutan di Bima telah rusak akibat ekspansi pertanian jagung. Bahkan di beberapa wilayah, tanaman jagung ditanam hingga ke dalam kawasan hutan lindung dan daerah aliran sungai (DAS) yang seharusnya dijaga ketat. Tidak ada sistem zonasi yang tegas, pengawasan lemah, dan regulasi yang longgar membuat praktik ini terus berlangsung. Celakanya, kerusakan ini tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga sistemik: masyarakat perlahan kehilangan kesadaran akan pentingnya fungsi ekologis hutan, dan menggantinya dengan logika ekonomi jangka pendek yang rapuh.
Kritikan mendalam patut diarahkan pada absennya integrasi antara kebijakan pertanian dengan konservasi lingkungan. Pemerintah daerah dan pusat tampak lebih fokus pada target produksi dan pengiriman komoditas daripada pada keberlanjutan ruang hidup. Perluasan lahan jagung dianggap sebagai indikator keberhasilan pertanian, padahal kenyataannya hal itu justru mempercepat degradasi tanah, menurunkan cadangan air tanah, serta memperbesar risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Belum lagi dampak terhadap keanekaragaman hayati yang sulit dipulihkan jika kerusakan telah meluas. Ironisnya, keuntungan ekonomi dari jagung juga tidak merata; petani kecil kerap terjebak dalam skema pinjaman untuk membeli benih dan pupuk, sedangkan keuntungan besar dinikmati oleh tengkulak dan perusahaan pembeli hasil panen.
Dari sudut pandang ekologi, kerusakan ini mengarah pada keruntuhan fungsi pegunungan sebagai wilayah penyangga kehidupan. Tanah menjadi gersang, mata air mengering, dan debit sungai menurun drastis di musim kemarau. Ketika hujan datang, tanah yang sudah kehilangan vegetasi tidak mampu menyerap air, sehingga air hujan langsung mengalir ke bawah, memicu banjir bandang di wilayah hilir. Hal ini sudah berulang kali terjadi di Kota Bima dan sekitarnya. Tetapi alih-alih menjadikan bencana ini sebagai peringatan, praktik pembukaan lahan terus berlangsung karena dinilai “menguntungkan” dalam jangka pendek. Tidak ada hitungan yang secara serius memperhitungkan kerugian jangka panjang akibat deforestasi massif ini.
Dari sisi sosial, ketergantungan terhadap jagung dalam sistem monokultur juga menciptakan ketidakstabilan. Ketika harga jagung jatuh, atau terjadi gagal panen karena cuaca ekstrem, petani tidak memiliki bantalan ekonomi atau pangan alternatif. Sistem pertanian lokal yang sebelumnya lebih beragam secara perlahan hilang, tergantikan oleh logika produksi tunggal. Ini membuat desa-desa di pegunungan menjadi lebih rentan terhadap krisis, baik ekonomi maupun pangan. Selain itu, generasi muda makin kehilangan keterhubungan dengan tradisi bertani yang selaras dengan alam. Mereka tumbuh dalam lanskap yang mengejar hasil cepat, tetapi miskin keberlanjutan.
Untuk itu, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mengambil langkah korektif yang serius. Pertanian berbasis agroforestri, diversifikasi tanaman, dan reboisasi di kawasan pegunungan harus menjadi prioritas. Program bantuan pertanian pun seharusnya tidak hanya berorientasi pada volume produksi, tetapi juga mengintegrasikan aspek konservasi dan ketahanan jangka panjang. Dibutuhkan keberanian politik untuk membatasi alih fungsi lahan di kawasan sensitif serta mendorong pola tanam yang lebih bijak secara ekologis. Jika tidak, pegunungan Bima akan berubah menjadi gurun tandus yang hanya menyisakan cerita, tentang bagaimana keserakahan dan kelalaian kita hari ini menghancurkan sumber kehidupan untuk generasi esok.
Komentar0
Bebas berkomentar. Sesuai Undang-undang Republik Indonesia. Link aktif auto sensor.